BAGAIMANA ULAMA BERIJTIHAD
Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri
MA
Allah Azza wa Jalla telah menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagai penutup para Rasul dan agama Islam sebagai penutup
seluruh syari'at dan agama. Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Muhammad itu
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullâh dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." [al-Ahzâb/33:40]
Bukan hanya sekedar sebagai penutup, akan
tetapi Islam juga menjadi standar kebenaran bagi seluruh syari'at terdahulu.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Dan Kami telah turunkan kepadamu
al-Qur'ân dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu
kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai batu ujian atas kitab-kitab
yang lain, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenarang
yang telah datang kepadamu." [al-Mâidah/5:48]
Ini salah satu hikmah
dijadikannya Islam sebagai agama yang wajib untuk diamalkan oleh seluruh umat
manusia, tanpa terkecuali. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ
مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ
بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
"Demi Dzat
Yang jiwa (Nabi) Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah ada seorangpun dari
umat ini, baik yang beragama Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati sedangkan ia
belum beriman dengan agama aku bawa (yaitu agama Islam), melainkan ia akan
menjadi penghuni neraka." [HR. Muslim no 218]
Islam adalah satu-satunya
syari'at yang wajib diamalkan dan yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh
umat manusia di dunia dan akhirat. Islam adalah agama yang cocok untuk diamalkan
di setiap zaman, negeri dan tatanan masyarakat. Karena dalam syari'at Islam
dijelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan umat manusia, baik urusan agama
ataupun dunia. Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Dan telah Kami turunkan
kepadamu al-Kitâb (al-Qur'ân) untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri".
[an-Nahl/16:89]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam telah mengajarkan
kepada umatnya segala sesuatu, sampai tatacara buang air kecil dan besar. Dengan
demikian, tidak ada alasan bagi siapapun untuk merekayasa suatu metode atau
ajaran dalam beribadah kepada Allah Azza wa Jalla atau memakmurkan bumi yang
kita huni ini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ
ذَرٍّ قَالَ: تَرَكْنَا رَسُولَ اللَّهِ وما طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ في
الْهَوَاءِ إِلاَّ وَهُوَ يُذَكِّرُنَا مِنْهُ عِلْمًا قَالَ فَقَالَ : (ما بَقِيَ
شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ وَقَدْ بُيِّنَ
لَكُمْ
"Sahabat Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata: "Rasulullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meninggalkan kami, dan tidaklah ada seekor
burungpun yang mengepakkan sayapnya di udara, melainkan beliau telah mengajarkan
ilmu tentangnya kepada kami. Selanjutnya Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu berkata:
Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah tersisa sesuatupun
yang dapat mendekatkanmu ke surga dan menjauhkanmu dari neraka, melainkan telah
dijelaskan kepadamu." [HR at-Thabrâni dan dihasankan oleh
al-Albâni]
Fakta ilmiyah ini berlaku dalam segala aspek kehidupan umat
manusia.
Untuk sedikit memberikan gambaran kaitan syari'at Islam dalam
berbagai masalah kontemporer; berikut disampaikan metodologi Ulama' ahli ijtihad
dalam melakukan studi kasus masalah-masalah tersebut.
1. Tidak Gegabah
Dalam Berfikir Dan Menyimpulkan.
Biasanya, bila Ulama' ahli ijtihad
dihadapkan kepada suatu masalah yang belum pernah terjadi, mereka bersikap
ekstra hati-hati. Bahkan, pada banyak kesempatan, mereka tidak segera memberikan
jawaban atas masalah tersebut. Mereka menunda jawabannya untuk beberapa hari,
sehingga memiliki waktu yang cukup untuk mempelajarinya dengan Ulama' ahli
ijtihad lainnya:
Abu Hushain Utsman bin 'Ashim Al-Asady rahimahullah
berkata: "Sesungguhnya mereka itu sangat gegabah ketika berfatwa tentang suatu
masalah, yang andaikan masalah tersebut disampaikan kepada Khalîfah Umar bin
Al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu , niscaya ia segera mengumpulkan para pemuka
sahabat yang ikut dalam perang Badar untuk berdiskusi."[1]
Demikianlah
tradisi para Khulafâur Râsyidîn ketika menghadapi berbagai masalah kontemporer.
Mereka mengumpulkan Ulama' alhi ijtihad dari kalangan Sahabat Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, berdiskusi dan bahkan membuat pengumuman kepada masyarakat
umum: "Barang siapa yang memiliki ilmu tentang permasalahan tersebut hendaknya
segera menyampaikannya".
Dikisahkan, ada seorang wanita datang kepada
Khalîfah Umar bin Al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu, yang menceritakan bahwa
suaminya mati dibunuh orang lain. Ia meminta agar ia mendapatkan bagian warisan
dari diyat (tebusan) suaminya itu. Khalîfah Umar Radhiyallahu 'anhu berkata:
“Aku tidak mengetahui apakah engkau juga berhak mendapatkan bagian darinya?”
Lalu beliau Radhiyallahu 'anhu membuat pengumuman: “Barang siapa yang mengetahui
ilmu dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang masalah ini,
hendaknya datang menemuiku.” Maka datanglah ad-Dhahak bin Sufyân Al-Kilâbi, yang
berkata: “Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyuruhku untuk
memberikan bagian warisan istri Asyyam Ad-Dhababi dari diyat suaminya.”
Mendapatkan masukan ini, maka Khalifah Umar Radhiyallahu 'anhu segera memberikan
bagian warisan wanita tersebut dari diyat suaminya". [HR. at-Thabrâni,
al-Baihaqi dan dishahîhkan oleh al-Albâni rahimahullah]
Inilah metode
pertama yang harus ditempuh oleh setiap orang yang hendak memahami dan
menghukumi berbagai masalah kontemporer.
2. Menguasai Hukum
Syari'at.
Keahlian pertama dan utama yang harus dimiliki seseorang yang
hendak memahami dan menghukumi berbagai masalah kontemporer ialah penguasaan
terhadap ilmu syari'at. Berbagai disiplin ilmu syari'at terkait, baik ilmu
bahasa, ushul fiqih, ilmu hadits dan lainnya benar-benar harus terlebih dahulu
dikuasai. Apalah gunanya seseorang merenung dan berfikir tentang suatu kasus
kontemporer, bila ia tidak menguasai ilmu agama. Orang itu hanya akan
menyengsarakan dirinya dan juga menyesatkan saudaranya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lisanmu secara dusta"ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, itu adalah kesenangan sedikit;
sedangkan bagi mereka azab yang pedih." [an-Nahl/16:116-117]
Rasulullâh
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ، حتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً
جُهَّالاً، فَسُئِلُواْ فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوْا
وَأَضَلُّوْا
"Sesungguhnya Allah tidaklah mengangkat ilmu dengan cara
mencabutnya dari para hamba-Nya, akan tetapi Ia mengangkat ilmu dengan cara
mematikan para Ulama'. Hingga pada saatnya nanti, Allah tidak lagi menyisakan
seorang Ulama'-pun, sehingga manusia akan menobatkan orang-orang bodoh sebagai
pemimpin mereka, kemudian mereka ditanya, dan merekapun menjawab dengan tanpa
ilmu, akibatnya merekapun tersesat dan menyesatkan". [Muttafaq
'alaih]
Tentu kita semua sepakat bahwa ilmu syari'at tidak mungkin dapat
dikuasai oleh "Ulama' karbitan" atau "praktisi dadakan"[2]. Ulama' karbitan atau
praktisi dadakan yang dihasilkan berbagai institusi atau badan usaha, dengan
melatih kadernya selama beberapa waktu, tidaklah layak untuk menjadi rujukan
dalam permasalahan semacam ini. Apalagi untuk menjadi Ulama' benar-benar berhak
untuk berijtihad dalam berbagai masalah kontemporer.
Pada suatu hari imam
Mâlik bin Anas rahimahullah mendapati imam Rabî'ah bin Abdurrahmân dalam keadaan
menangis. Spontan, imam Mâlik rahimahullah bertanya kepadanya: “ Apa gerangan
yang menyebabkan kamu menangis? Apakah engkau ditimpa musibah?” Ia menjawab:
“Tidak, aku menangis karena adanya orang tak berilmu yang dimintai fatwa.” Lalu
imam Rabî'ah berkata:” Sungguh, sebagian orang yang berfatwa di sini lebih layak
untuk dipenjara daripada para pencuri.”[3]
Ibnu Shalah rahimahullah
mengomentari kisah ini dengan berkata: “Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa
merahmati imam Rabî'ah, apa gerangan komentarnya andaikan ia menyaksikan
perilaku masyarakat di zaman ini.”[4]
Sebagian Ulama' menjelaskan alasan
yang mendasari Ulama' ahli ijtihad bersikap ekstra hati-hati, dengan berkata:
“Barang siapa yang hendak menjawab suatu pertanyaan, maka hendaknya terlebih
dahulu ia memikirkan bagaimanakah caranya ia dapat selamat di akhirat,
setelahnya, barulah ia menjawab.” [5]
3. Menguasai Permasalahan Yang
Dihadapi Dengan Sempurna.
Dahulu para Ulama' berkata:
الحُكْمُ عَلَى
الشَّيءِ فَرْعٌ عَنْ تَصَوُّرِهِ
"Hukum suatu masalah adalah cabang
pemahaman terhadap gambaran masalah tersebut".
Berdasarkan ini, Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata: "Tidaklah seorang mufti dan hakim dapat memberikan
fatwa atau keputusan hukum dengan benar, kecuali bila ia memiliki dua jenis
pemahaman: Pertama: pemahaman tentang masalah yang terjadi, dan kajian mendalam
tentang hakekat sebenarnya pada kejadian tersebut. Kajian itu dapat dilakukan
dengan bantuan berbagai pertanda dan indikasi yang berkaitan, hingga ia
benar-benar menguasi masalah yang dimaksud. Pemahaman kedua: Memahami apa yang
menjadi kewajiban dalam masalah itu, yaitu hukum Allah Azza wa Jalla yang telah
diputuskan dalam al-Qur'ân atau melalui lisan Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa
sallam tentang masalah itu. Selanjutnya ia mencocokkan kedua jenis pemahaman
ini."[6]
"Sesungguhnya realita suatu masalah -menurut Ulama- terbagi
menjadi dua bagian:
Bagian pertama : realita yang memiliki pengaruh
dalam penentuan hukum syari'at. Memahami realita jenis ini merupakan suatu
keharusan. Barangsiapa yang menghukumi suatu masalah, tanpa memahami realitanya,
maka dia telah berbuat kesalahan. Jika suatu realita memiliki pengaruh dalam
penentuan hukum, maka wajib di kuasai oleh para Ulama'.
Bagian kedua :
Realita yang tidak memiliki pengaruh dalam penentuan hukum syari'at, misalnya:
kejadiannya demikian dan demikian serta cerita yang panjang lebar; akan tetapi
realita dan kisah tersebut sama sekali tidak mempengaruhi penentuan hukum
syari'at.
Ketika berijtihad, para Ulama' mengabaikan realita semacam ini,
walaupun sebenarnya mereka memahaminya. Dengan demikian tidak setiap realita
yang diketahui memiliki pengaruh dalam penentuan hukum
syari'at".[7]
Realita jenis kedua inilah yang disebut dalam ilmu ushul
fiqih dengan (الأَوْصَافُ الطَّرْدِيَّةُ). Realita jenis kedua ini tergolong
dalam "ilmu yang tidak bermanfaat untuk diketahui, dan tidak merugikan bila
diabaikan".
Untuk dapat membedakan antara realita yang berpengaruh dalam
menentukan hukum dari realita yang tidak berpengaruh sama sekali, harus
mengetahui ilmu syari'at yang merupakan standar berbagai fakta dan realita.
Sebagai contoh: Kita semua mengetahui bahwa khamer adalah minuman yang
diharamkan. Kita juga mengetahui bahwa khamer di zaman dahulu terbuat dari
anggur dan kurma, sebagaimana dikisahkan dalam ayat 67 surat an-Nahl. Nah,
apakah realita ini memiliki pengaruh dalam penentuan hukum haram khamer,
sehingga khamer yang terbuat dari tebu tidak dinamakan khamer alias halal?
Ulama' ahli ijtihad telah menjelaskan bahwa khamer adalah haram,
walaupun terbuat dari tebu atau lainnya. Keputusan hukum ini berdasarkan kepada
sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ
مُسْكِرٍ حَرَامٌ
"Setiap yang memabukkan adalah khamer, dan setiap yang
memabukkan adalah haram”. [HR Muslim]
Dengan demikian realita khamer
zaman dahulu, yaitu terbuat dari anggur dan korma tidak mempengaruhi hukum
khamer.
Untuk dapat memahami realita suatu masalah, seorang ahli ijtihad
menempuh cara:
A. Bertanya kepada pakar permasalahan tersebut.
B.
Bertanya langsung kepada orang yang ditimpa permasalahan tersebut.
4.
Standar Kebenaran Adalah Al-Qur'ân Dan Sunnah.
Seluruh Ulama' telah sepakat
bahwa tidaklah ada agama, selain agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiada ibadah melainkan yang telah beliau ajarkan,
tiada kehalalan melainkan yang telah beliau halalkan dan tiada keharaman
melainkan yang telah beliau haramkan. Dengan demikian, yang menjadi standar
kebenaran dalam segala urusan, termasuk berbagai masalah kontemporer adalah
al-Qur'ân dan Sunnah, baik selaras dengan pendapat kebanyakan Ulama' atau
menyelisihinya.
"Dan segala yang diajarkan oleh Rasulullah kepadamu, maka
amalkanlah, dan segala yang dilarangnya, maka tinggalkanlah".
[al-Hasyr/59:7]
Kebenaran tidaklah dipandang dari ringan atau beratnya
suatu pendapat bila diamalkan. Rasa ringan atau berat ketika beramal sangat
relatif, dan banyak penyebabnya; oleh karena itu imam asy-Syaukani berkata:
“Yang wajib kita anut dan harus kita amalkan adalah pendapat yang berdasarkan
dalil shahîh. Dan bila dalil-dalilnya terkesan saling bertentangan, maka
ringannya atau beratnya suatu pendapat tidak dapat dijadikan sebagai alasan
penguat. Pada saat itu, kita berkewajiban untuk mencari alasan lain yang
dibenarkan, guna menguatkan suatu pendapat.” [8]
5. Tidak Terperdaya
Dengan Perbedaan Nama Shingga Melalaikan Hakekat Masalah.
Di antara metode
ijtihad yang diajarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghadapi
berbagai masalah kontemporer ialah dengan senantiasa mengaitkan hukum
permasalahan dengan hakekatnya, dan bukan dengan sekedar penamaannya. Oleh
karena itu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَيَشْرَبَنَّ
أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ، يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا، وَتُضْرَبُ
عَلَى رُؤُوسِهِمْ الْمَعَازِفُ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأََرْضَ وَيُجْعَلَ
مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ
“Sungguh akan ada sekelompok orang dari
umatku yang minum khamer, dan mereka menamakannya dengan selain namanya, sambil
ditabuh alat-alat musik di atas kepala mereka, lalu Allah Azza wa Jalla akan
menenggelamkan (sebagian) mereka ke dalam bumi, dan sebagian lagi dikutuk
menjadi kera dan babi”. [HR Abu Dâwud, dan hadits ini memiliki banyak
syawâhid]
Ibnu Hajar al-Asqalâni as-Syâfi'i rahimahullah berkata, "Pada
hadits ini terdapat ancaman keras atas orang-orang yang merekayasa berbagai cara
untuk menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah k dengan cara mengubah namanya.
Dan pada hadits ini pula dapat disimpulkan bahwa setiap hukum senantiasa
mengikuti 'illah-nya (alasannya), dan 'illah diharamkannya khamer ialah karena
memabukkan. Jika suatu minuman menyebabkan seseorang mabuk, maka minuman itu
pasti haram, walau namanya telah berubah; bukan lagi khamer.”
Ibnu
al-'Arabi rahimahullah berkata: “Hadits ini adalah dasar bagi kaidah: "Setiap
hukum hanyalah berkaitan dengan makna suatu istilah, tidak dengan sekedar
namanya saja."[9]
Seorang ahli ijtihad yang benar-benar paham syari'at
Islam, niscaya tidak akan terpengaruh oleh kilauan nama yang indah. Mereka
menyadari bahwa kegemaran merubah-rubah nama guna merubah hukum, hanyalah secuil
warisan umat Yahudi. Ulama' ahli ijtihad senantiasa ingat akan wasiat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka:
لاَ تَرْتَكِبُوْا مَا
ارْتَكَبَتِ الْيَهُودُ، فَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى
الْحِيَلِ
"Janganlah kalian melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang
Yahudi, sehingga kalian menghalalkan hal-hal yang diharamkan Allah dengan
melakukan sedikit rekayasa." [HR. Ibnu Batthah dan dihasankan oleh Ibnu Katsîr
serta disetujui oleh al-Albâni].
Oleh karena itu walaupun piutang telah
diberi nama baru yang lebih menggiurkan yaitu tabungan, atau modal usaha, atau
obligasi, atau sukuk, tetap saja hukumnya adalah piutang. Dengan demikian segala
bentuk keuntungan yang dipungut darinya adalah riba.
6. Tidak Kaku Dalam
Menerapkan Fatwa Ulama'.
Semua mengetahui bahwa agama Islam telah berumur
lebih dari 14 abad. Dengan demikian, syari'at Islam telah dipahami dan diamalkan
di berbagai tatanan masyarakat, dengan berbagai perbedaan yang ada di antara
mereka. Masing-masing Ulama' menghadapi berbagai masalah yang ada di
masyarakatnya. Sehingga tidak dipungkiri bahwa karya tulis dan fatwa
masing-masing Ulama' sering kali terwarnai oleh tradisi dan gaya hidup yang ada
di masyarakatnya.
Oleh karena itu, merupakan sikap bijak, bila senantiasa
mempertimbangkan perbedaan tradisi dan gaya hidup zaman kita dengan yang ada di
zaman Ulama' yang menjadi rujukan, ketika mengkaji berbagai masalah
kontemporer.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mempertimbangkan adat
dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat ketika berfatwa adalah sikap yang
benar-benar cemerlang. Barang siapa berfatwa hanya berdasarkan apa yang tertera
dalam suatu kitab, tanpa mempertimbangkan perbedaan tradisi, adat istiadat,
waktu, dan keadaan yang ada pada masing-masing masyarakat, maka ia telah sesat
dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap ajaran agama lebih besar dibanding
kejahatan seorang dokter yang berusaha mengobati masyarakat di berbagai negeri
dengan segala perbedaan tradisi, masa dan tabiat mereka; hanya berdasarkan
keterangan salah satu buku kedokteran saja. Dokter atau mufti bodoh ini
merupakan hal yang paling berbahaya bagi keutuhan raga dan jiwa
masyarakat."[10]
Sebagai contoh nyata, bahwa dalam buku-buku fiqih dan
tafsîr telah dinyatakan, jika seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan
“wahai ibuku” atau yang serupa, maka ia telah terkena hukum dhihâr. Sehingga ia
tidak dibenarkan untuk menggauli istrinya sampai ia membayar kafarat, yaitu
memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan
enam puluh orang miskin. Hukum ini dengan tegas dijelaskan dalam surat
al-Mujâdilah ayat 2-4.
Jika kita menerapkan keterangan Ulama' di atas
pada masyarakat kita, maka 90 % pasangan suami istri di negeri ini terkena
kewajiban itu. Kebanyakan kaum suami di negeri kita memanggil istrinya dengan
sebutan : ibu, mama, adik, atau lainnya.
Guna menjembatani penerapan
hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih terhadap fakta yang ada di masyarakat,
para Ulama’ menggariskan suatu kaidah yang berbuyi:
لاَ يُنْكَرُ
تَغَيُّرُ الأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ العَادَاتِ
“Tidak dipungkiri terjadinya
perubahan hukum syar’i, selaras dengan perubahan adat.”
atau
:
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
"Tradisi itu memiliki kekuatan
hukum."
Berdasarkan penjelasan di atas, para Ulama' menyatakan bahwa bila
suatu tradisi tidak menyelisihi syari'at, maka boleh diamalkan, bahkan pada
beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan. Akan tetapi bila adat dan tradisi
suatu masyarakat menyelisihi ajaran syari'at, maka haram untuk dilakukan.
Sehingga hukum syari'at tetap baku dan tidak dapat berubah karena perubahan adat
dan tradisi. Inilah makna kaidah fiqhiyyah (kaidah dalam ilmu fiqih) di
atas[11]. Hal ini berdasarkan firman Allah kAzza wa Jalla :
وَمَا كَانَ
لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ
لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلاً مُّبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan
mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sesungguhnya
dia telah tersesat, sesat yang nyata." [al-Ahzâb/33:36].
Dr. Muhammad
Shidqi Al-Burnu berkata: "Seluruh ulama' fiqih telah sepakat bahwa hukum-hukum
yang dapat berubah-rubah selaras dengan perubahan zaman dan perilaku manusia
ialah hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad Ulama'. Yaitu hukum-hukum yang
merupakan upaya Ulama' dalam merealisasikan maslahat, qiyas, atau adat. Dengan
demikian, hukum-hukum yang berdasarkan dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah, tetap
dan tidak dapat berubah, serta tidak tercakup oleh kaidah ini. Berdasarkan
itulah, sebagian ulama' fiqih berpendapat bahwa teks kaidah ini yang lebih tepat
ialah:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ ْلإِجْتِهَادِيَةِ بِتَغَيُّرِ
اْلأَزْمَانِ
"Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum-hukum
ijtihadiyyah berdasarkan perubahan zaman", guna menepis kerancuan semacam ini.
Dan (saya berpendapat) membubuhkan tambahan semacam ini pada kaidah tersebut
bagus dan tepat adanya."[12]
7. Mencarikan Solusi Jitu.
Tidak
dipungkiri bahwa kebanyakan dari masalah kontemporer di masyarakat adalah hasil
rekayasa dan gagasan orang-orang non Muslim, yang tidak perduli dengan halal dan
haram. Oleh karena itu, bila seorang ahli ijtihad telah membuktikan akan
haramnya suatu masalah kontemporer di masyarakat, hendaknya ia tidak merasa puas
dengan kesimpulan hukum tersebut; sampai ia berhasil menyodorkan alternatif yang
halal. Dengan demikian, umat lslam dapat terhindar dari berbagai amalan haram
dan dapat merealisasikan kemaslahatannya dengan cara-cara yang diridhai Allah
Azza wa Jalla.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Bila seorang mufti
yang benar-benar berilmu dan tulus ditanya oleh seseorang tentang suatu hal yang
terlarang, padahal ia benar-benar memerlukannya, niscaya mufti itu akan segera
menunjukkannya alternatif yang halal. Dengan demikian, mufti tersebut berhasil
menutup pintu perbuatan haram, dan membukakan solusi-solusi yang halal. Tentu
tidak ada orang yang mampu melakukan hal ini selain orang-orang yang benar-benar
berilmu lagi tulus, yang benar-benar ikhlas karena Allah k dengan mengamalkan
ilmunya. Mufti semacam ini bak seorang dokter yang handal lagi tulus, ia
berusaha melindungi pasiennya dari mara bahaya, dan memberikan resep manjur
baginya. Demikianlah semestinya perilaku para dokter rohani dan jasmani.
Diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah
Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi pun melainkan wajib atas Nabi itu
untuk menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan yang ia ketahui, dan
memperingatkan mereka dari setiap kejelekan yang ia ketahui". Demikianlah
perangai para Rasul dan para ahli waris mereka sepeninggalnya" [13]
Apa
yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit metode Ulama' ahli ijtihad yang dapat
dirangkumkan dari beberapa referensi. Semoga, paparan singkat ini bermanfaat
bagi semuanya.
Wallâhu'alam bis shawâb.
[Disalin dari majalah
As-Sunnah Edisi 02//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah
Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp.
0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Târîkh Dimasyq oleh Ibnu 'Asyâkir
38/411.
[2]. Seorang praktisi perbankan syari'ah di negeri kita, menceritakan
kepada saya awal perjalannya menjadi seorang praktisi perbankan syari'ah.
Perjalanannya dimulai dari adanya keinginan pemilik bank konfensional tempat ia
bekerja untuk memindahkannya dari perbankan konfensional ke perbankan syari'ah.
Guna mewujudkan keinginannya ini, sahabat ini pun ditugaskan untuk mengikuti
trening selama 6 bulan, dan seusai training tersebut ia dinobatkan sebagai
praktisi perbankan syari'ah.
[3]. At-Tamhîd oleh Ibnu Abdil Bar 3/5.
[4].
Adâbul Mufti wal Mustafty, oleh Ibnu Shalâh 1/20.
[5]. Idem 1/13.
[6].
I'lâmul Muwaqi'în oleh Ibnul Qayyim 1/87-88.
[7]. Ad-Dhawâbithus Syar'iyyah
Li Mauqifil Muslim fil Fitan hal:45.
[8]. Irsyâdul Fuhûl oleh asy-Syaukâni
2/276.
[9]. Fathul-Bâri oleh Ibnu Hajar al-Asqalâni 10/56.
[10]. I'ilâmul
Muwaqi'în oleh Ibnul Qayyim 3/78.
[11]. Untuk mendapatkan kejelasan lebih
lanjut tentang kaidah ini, silahkan baca kitab: Al-Asybah wan Nazhâ'ir oleh Imam
As-Suyûthi 89-101, Al-Wajîz Fî Idhâhi Qawâidil Fiqh Al-Kulliyyah, oleh Dr.
Muhammad Shidqi Al-Burnu 270-313.
[12]. Al-Wajîz Fî Idhâhi Qawâidil Fiqh
Al-Kulliyyah, oleh Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu 311.
[13]. I'lamul Muwaqi'in
oleh Ibnul Qayyim 4/159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar